SEJARAH
CIREBON
KESULTANAN CIREBON
KESULTANAN Cirebon merupakan
kesultanan di pantai utara Jawa Barat dan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat.
Cirebon pada saat sekarang merupakan nama satu wilayah administrasi, ibu kota,
dan kota. Nama Cirebon juga melekat pada nama bekas sebuah keresidenan yang
meliputi kabupaten-kabupaten Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon.
Sumber-sumber naskah tentang
Cirebon yang disusun oleh para keturunan kesultanan dan para pujangga kraton
umumnya berasal dari akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Dari sumber
naskah setempat, yang dianggap tertua adalah naskah yang ditulis oleh Pangeran
Wangsakerta. Selain sumber
setempat, terdapat pula sumber-sumber asing. Yang dianggap tertua berasal dari catatan Tome Pires -mengunjungi Cirebon pada tahun 1513-yang berjudul Suma Oriental.
setempat, terdapat pula sumber-sumber asing. Yang dianggap tertua berasal dari catatan Tome Pires -mengunjungi Cirebon pada tahun 1513-yang berjudul Suma Oriental.
Mengenai nama Cirebon terdapat
dua pendapat. Babad setempat, seperti Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran
Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada
tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad
ke-1 menyebutkan bahwa kota Cirebon berasal dari
kata ci dan rebon(udang kecil). Nama tersebut
berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu
membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari
Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata cirebonadalah perkembangan
kata caruban yang berasal dari istilah sarumban yang
berarti pusat percampuran penduduk.
Di Pasambangan terdapat sebuah
pesantren yang bernama Gunung Jati yang dipimpin oleh Syekh Datu Kahfi (Syekh
Nurul Jati). Di pesantren inilah Pangeran Walangsungsang (putra raja Pajajaran,
Prabu Siliwangi) dan adiknya, Nyai Rara Santang, pertama kali mendapat
pendidikan agama Islam.
Pada awal abad ke-16, Cirebon
masih di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Pangeran Walangsungsang ditempatkan
oleh raja Pajajaran sebagai juru labuhan di Cirebon. Ia bergelar Cakrabumi.
Setelah cukup kuat, Walangsungsang memproklamasikan kemerdekaan Cirebon dan
bergelar Cakrabuana. Ketika pemerintahannya telah kuat, Walangsungsang dan Nyai
Rara Santang melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah ia
memindahkan pusat kerajaannya ke Lemahwungkuk. Di sanalah kemudian didirikan
keraton baru yang dinamakannya Pakungwati.
Sumber-sumber setempat
menganggap pendiri Cirebon adalah Walangsungsang, namun orang yang berhasil
meningkatkan statusnya menjadi sebuah kesultanan adalah Syarif Hidayatullah
yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati (Wali Songo).
Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan
pengganti Pangeran Cakrabuana. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan
kemudian juga Banten.
Setelah Cirebon resmi berdiri
sebagai sebuah kerajaan Islam, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan
Pajajaran yang belum menganut agama Islam. Ia mengembangkan agama ke
daerah-daerah lain di Jawa Barat.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat
(menurut Negarakertabhumi dan Purwaka Caruban Nagari tahun 1568), dia
digantikan oleh cucunya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau
Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahannya, Cirebon berada di bawah pengaruh
Mataram. Kendati demikian, hubungan kedua kesultanan itu selalu berada dalam
suasana perdamaian. Kesultanan Cirebon tidak pernah mengadakan perlawanan
terhadap Mataram. Pada tahun 1590, raja Mataram, Panembahan Senapati, membantu
para pemimpin agama dan raja Cirebon untuk memperkuat tembok yang mengelilingi
kota Cirebon. Mataram menganggap raja-raja Cirebon sebagai keturunan orang suci
karena Cirebon lebih dahulu menerima Islam. Pada tahun 1636 Panembahan Ratu
berkunjung ke Mataram sebagai penghormatan kepada Sultan Agung yang telah
menguasai sebagian pulau Jawa.
Panembahan Ratu wafat pada
tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Girilaya.
Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pada masa Pnembahan
Girilaya (1650-1662). Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya sendiri,
Cirebon diperintah oleh dua putranya, Martawijaya (Panembahan Sepuh) dan Kartawijaya
(Panembahan Anom). Panembahan Sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan dengan gelar
Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman dengan gelar
Badruddin. Saudara mereka, Wangsakerta, mendapat tanah seribu cacah (ukuran
tanah sesuai dengan jumlah rumah tangga yang merupakan sumber tenaga).
Perpecahan tersebut menyebabkan
kedudukan Kesultanan Cirebon menjadi lemah sehingga pada tahun 1681 kedua
kesultanan menjadi proteksi VOC. Bahkan pada waktu Panembahan Sepuh meninggal
dunia (1697), terjadi perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Keadaan
demikian mengakibatkan kedudukan VOC semakin kokoh. Dalam Perjanjian Kertasura
1705 antara Mataram dan VOC disebutkan bahwa Cirebon berada di bawah pengawasan
langsung VOC.
Walaupun demikian kemunduran
politik itu ternyata sama sekali tidak mengurangi wibawa Cirebon sebagai pusat
keagamaan di Jawa Barat. Peranan historis keagamaan yang dijalankan Sunan
Gunung Jati tak pernah hilang dalam kenangan masyarakat. Pendidikan keagamaan
di Cirebon terus berkembang. Pada abad ke-17 dan ke-18 di keraton-keraton
Cirebon berkembang kegiatan-kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal
ini antara lain terbukti dari kegiatan karang-mengarang suluk,
nyanyian keagamaan Islam yang bercorak mistik. Di samping itu,
pesantren-pesantren yang pada masa awal Islam berkembang di daerah pesisir
pulau Jawa hanya bertahan di Cirebon; selebihnya mengalami kemunduran atau
pindah ke pedalaman.
Keraton para keturunan Sunan
Gunung Jati tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan pengaruh pemerintah
Hindia Belanda. Kesultanan itu bahkan masih dipertahankan sampai sekarang.
Meskipun tidak memiliki pemerintahan administratif, mereka tetap meneruskan
tradisi Kesultanan Cirebon. Misalnya, melaksanakan Panjang Jimat (peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw) dan memelihara makam leluhurnya Sunan Gunung Jati.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar